Tingkat Literasi Teknologi di Desa Tumbu-tumbu Jaya

Sumber: Pixabay

Matahari yang terik menyambut Saya sampai di salah satu desa penghasil Jambu Mente (baca: mete) di Konawe Selatan. Perjalanan Saya kali ini di Desa Tumbu-tumbu Jaya di Kecamatan Kolono Timur. Camat dan Kepala Desa menyambut Saya dan Mahasiswa dengan hangat di Balai Desa.

Jarak tempuh dari pusat kota Kendari ke desa itu kurang lebih dua jam lamanya via perjalanan darat. Jalan beraspal yang cukup mulus. Ini agak berbeda jauh di Konawe Selatan bagian barat yang jalannya di mana akses jalan seperti off-road, penuh lubang dan tampak tak ter-urus. Entah kapan, fasilitas publik itu di aspal. Semua saling lempar tanggung jawab, antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten.

Setelah diterima dengan baik pemerintah desa setempat. Saya membimbing salah satu kelompok mahasiswa kuliah lapangan. Tema yang diangkat mengenai pola komunikasi aparatur desa dalam pelayanan publik. Kuliah lapangan ini menggali potensi desa dan juga inovasi tentang pemerintah desa. Saya berasumsi bahwa aparatur di desa itu sudah memanfaatkan dengan baik media sosial dalam berkirim pesan, gambar atau video sesama aparatur. Harapan itu muncul mengingat desa itu jaringan internet sudah terhubung jaringan luas 4G. Saya tidak mengalami kendala internat terutama telkomsel di desa itu. Asumsi saya akhirnya terjawab dari penelitian lapangan mahasiswa. Ternyata pemerintah desa tidak menggunakan platform media sosial dalam berkomunikasi antar aparatur desa.

Dari hasil wawancara mahasiswa kelompok yang saya bimbing menemukan bahwa aparatur desa Tumbu-tumbu Jaya hanya mengandalkan pesan singkat (SMS) untuk berkomunikasi sesama aparatur. Saya kemudian berbincang dengan Kepala Desa tempat Saya menginap. Cerita kepala desa menguatka informasi temuan mahasiswa bahwa, hanya Dia yang mampu menggunakan sosial media (baca: Whatsapp). Informasi yang disebar ke aparatur desa dengan cara SMS. Kepala desa menggunakan fasilitas pesan singkat itu untuk informasi atau undangan pertemuan. Pertemuan lebih banyak dengan tatap muka di balai desa atau rumah kepada desa.

“kami hanya menggunakan sms untuk berkomunikasi sesama aparat desa” katanya dengan yakin.

Kepala desa yang sudah masuk dua periode ini tergolong cakap menggunakan sosial media. Persoalan yang saat ini pak Desa rasakan bagaimana melatih kemampuan literasi digital perangkat desa terutama aparatur desa adalah kemampuan menggunakan sosial media untuk membantu urusan desa. Kesenjangan teknologi masih terjadi di aparatur desa. Tentu banyak aparat desa yang mengalami itu. Aparat desa belum memanfaatkan telepon pintar untuk berkomunikasi antar aparat desa.

Kebiasaan ini pun masih dilanggengkan walau pandemi Covid-19. Kerja dari rumah memang tidak berjalan baik di desa itu pada masa pandemi. Aparat desa tetap melakukan pertemuan dengan tatap muka. Handphone digunakan lebih banyak ke hiburan, bukan untuk urusan pelayanan masyarakat. Aparatur desa yang masuk kategori boomer memang perlu waktu untuk menyesuaikan diri dalam kemajuan teknologi. Aparatur desa mengandalkan pengalaman bekerja secara tatap muka dan belum mau berpisah dari kebiasaan lama yang berkutat pada surat manual, rapat tatap muka sampai menyampaikan informasi harus datang ke rumah kepala desa.

Pengalaman ini menunjukkan bahwa, literasi teknologi masih sangat diperlukan di pedesaan. Seperti kita ketahui bahwa literasi digital atau literasi teknologi, menurut laman ruralrise.org yaitu kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk menemukan, mengevaluasi, membuat, dan mengkomunikasikan informasi, yang membutuhkan keterampilan kognitif dan teknis.

Keterbelahan Digital (Divide Digital)

Setidaknya ada beberapa faktor yang membuat rendahnya kemampuan kecakapan digital di desa, pertama, tingkat umur, status sosial ekonomi, ras, kondisi kehidupan, dan akses internet (ruralrise.org)

Hasil penelitian lapangan mahasiswa menunjukkan rerata usia aparatur desa Tumbu-tumbu Jaya di atas 50an tahun. Ini menunjukkan aparatur desa bukan generasi milenial namun boomer. Generasi boomer yang tidak lahir dalam revolusi digital tidak mudah untuk menyesuaikan atau tangkas bermain sosial media. Tapi bukan tidak mungkin, membiasakan mereka dengan hal baru bukan hal mustahil. Tinggal upaya terus dengan pembiasaan, pelatihan dan pengalaman yang diberikan untuk memudahkan aparatur desa beradaptasi dengan gaya komunikasi sosial baru.

Ini catatan penting ke depan, bagaimana pelatihan atau sosialisasi literasi digital masih sangat relevan di masyarakat desa khususnya bagi aparatur desa untuk mencoba inovasi dalam urusan pelayanan publik di desa. Pelatihan bisa dengan cara memperkenalkan platform salah satu sosial media bagaimana menggunakan sosial media dan manfaatnya. Aparatur desa saat ini dihadapkan pada pilihan pola kebiasaan dan pola kerja yang berubah seiring kemajuan teknologi. Sudah saatnya pemangku kepentingan (stakeholder) membantu aparatur desa untuk beradaptasi dengan komunikasi berbasis digital.